Senin, 12 Juli 2010

Goa Gombong

Gua Gombong di Sukabumi Selatan, Jawa Barat. , berada dalam sebuah kawasan karst dengan morfologi lembah yang mempunyai kerapatan vegetasi tinggi, terlihat dengan banyak ditemukannya berbagai jenis tumbuhan antara lain singkong, sayur-sayuran, pohon pinus, pohon jati, pohon pisang dan rumpun bambu. Alhasil tidak terlihat singkapan karst yang signifikan dipermukaan. Di sebelah barat lembah mengalir sebuah sungai yang mengalir dari Gua Bibijilan dan mempunyai air terjun, oleh masyarakat setempat diberi nama Curug Dadali dalam bahasa sunda Bibijilan berarti tepat keluarnya air sedangkan Curug memang berarti air terjun dan Dadali berarti burung dadali. Curug Dadali oleh masyarakat setempat dikelola menjadi sebuah tempat wisata alam, Pada hari libur biasanya banyak pengunjung yang datang untuk menikmati indahnya Curug Dadali, ditambah disekeliling Curug Dadali yang menyuguhkan panorama alam dan udara sejuk yang menyegarkan karena rimbunnya pohon-pohon pinus dikawasan wisata Curug Dadali ataupun hanya untuk sekedar bermain air sungai yang jernih dengan sang kekasih dibawah siraman Curug Dadali.

Kawasan ini secara administratif berada di Desa Kerta Angsana Kecamatan Nyalindung Sukabumi Selatan. Sebenarnya Gua Gombong juga masih termasuk dalam kawasan wisata Buni Ayu, akan tetapi Gua Gombong kurang dikenal dibandingkan dengan Gua Siluman. Untuk pergi ke sana, dari kota Bandung kita menuju Sukabumi kemudian berbelok ke arah selatan dari pusat Kota Sukabumi untuk menuju kecamatan Nyalindung jarak yang ditempuh sekitar 2 sampai 3 jam dari pusat Kota Sukabumi saja hingga Buni Ayu kemudian belok ke kiri ke arah Desa Kerta Angsana.

Saat akan memasuki gua, tim harus ekstra hati-hati karena mulut Gua Gombong mempunyai bentuk sumuran bulat kecil dengan lorongnya yang menurun tajam (Vertical) sedalam ± 30 meteran sehingga agak sulit untuk dimasuki. Selain itu dibutuhkan peralatan dan keterampilan panjat tebing yang memadai untuk memasukinya. Setelah memasang tambatan utama (Anchor) melalui celah tembus pada batu besar didepan entrance untuk leading dan tali tetap yang menjuntai ke dasar gua (Fixed Rope), kemudian tim bergiliran menuruni (Rapelling) sumuran tersebut untuk dapat ke dasar gua. Setelah tim sampai di dasar gua yang berbentuk lorong (Chamber) dengan lebar kanan-kiri bervariasi antara 3-4 meter, dengan tinggi ± 6 meter dan sedikit berair campur lumpur sehingga membuat lantai gua menjadi sulit ditelusuri karena licin. Dahulu lorong ini adalah sebuah lorong yang terdapat aliran air, karena sekarang sudah ditinggalkan oleh lintasan air maka lorong ini disebut lorong fosil.

Hal ini dapat dilihat dari bekas guratan-guratan aliran air pada dinding gua yang kira-kira tingginya sebahu tubuh manusia, diperkirakaan jika terjadi banjir air dalam lorong ini bisa mencapai ketinggian ± 7-9 meter atau bahkan mencapai plafon gua akan tetapi kami belum bisa memastikan kapan tepatnya lorong ini sudah tidak di diisi air lagi bisa ratusan ribu atau ribuan tahun yang lalu. Perasaan was-was menyelimuti seluruh anggota tim karena pada saat kami menelusuri gua ini sedang terjadi hujan dipermukaan, kemudiaan setelah diperiksa ternyata bekas guratan air tersebut seperti busa ketika kami basuh dengan air bisa hilang begitu saja hal ini menandakan bekas tersebut belum lama alias masih baru.

Suasana menjadi begitu mencekam membuat kadar Adrenaline menjadi naik, mental kami sedang diuji keberanianya bisa saja ini bekas aliran air bulan lalu ataupun yang kemarin?!?. Kemudian tim pun mulai melanjutkan penelusuran dan pemetaan gua dimulai dari stasiun pertama yang posisinya tepat dibawah lorong vertical ke arah timur kemudian setelah melewati 15 meter yang penuh lumpur dari lorong utama terlihat banyak dijumpai celah vertikal yang meneteskan air cukup besar pada atap gua hal ini terjadi akibat adanya rekahan atau runtuhan pada permukaan gua diatasnya, dan terlihat beberapa lubang lagi pada dinding sebelah kiri atas mungkin ada jendela (Aven) atau entrance lainnya. Speleothems gua mulai banyak terlihat seperti Flowstone, Pilar, Stalaktit dan Stalakmit yang masih aktif dan beragam, didalam gua juga terdapat kelelawar, jangkrik, laba-laba dan ular berwarna belang.

Kemudiaan pada jarak 10 meter ke depan tim menemukan aliran sungai bawah tanah yang arahnya menyilang terhadap lorong utama kami tadi, sungai tersebut mengalir ke arah selatan kemudian kami mencoba mengukur kedalamannya dengan menggunakan helm yang terikat tali, kedalaman sungai ini sekitar ± 4 meter dan mempunyai lebar kira-kira 3-4 meter, karena sungai ini memotong lorong utama, kami pun berbalik arah untuk melanjutkan penelusuran dan pemetaan ke arah barat dari lorong utama. Tidak jauh dari stasiun pertama ke arah barat terdapat aliran sungai bawah tanah lagi yang cukup panjang dan dalam kira-kira setinggi pinggang manusia untuk bisa mencapai chamber selanjutnya, kami menyeberangi sungai tersebut secara bergiliran menggunakan tali, lintasan air ini lebarnya sekitar 7 meter menuju sisi barat. Sepuluh menit kemudian, tim sampai di chamber lain di sebelah barat yang berupa kubangan air dan lumpur sehingga lintasan menjadi sulit untuk dilewati, chamber ini bercabang, lebih besar dan sangat kaya dengan ornamen-ornamen gua karena ditemukan banyak stalaktik dan stalakmit aktif akibat dari tetesan air vadosa (Vadosa trickles) juga terdapat banyak kelompok Flowstone, Canopies yang terbentuk akibat aliran air vadosa melalui atap dan dinding gua (Vadosa seepage), saat melaluinya kita juga akan melihat kelompok Gourdam yang menyerupai petakan-petakan sawah pada permukaan gua, adapula gourdam-guordam kecil pada permukaan flowstone hasil dari pengendapan kalsit pada saat air diperlambat oleh bibir (gour) permukaan flowstone itu.

Di ujung chamber ini terdapat sebuah telaga, tim pun harus ekstra hati-hati untuk dapat melihatnya dari dekat karena bila terjatuh, telaga berbentuk lingkaran ini dimana kedalamannya belum dapat diketahui, siap menampung kita. Sepertinya air telaga ini berasal dari aliran air di sepanjang chamber yang kami lewati tadi, tim juga berasumsi ada lorong lain ibawah telaga mungkin juga berbentuk sifon. Kemudian tim kembali menuju lorong bercabang tadi untuk menuju extrance kemudiaan keluar dan menyelesaikan penelusuran ini, pada awalnya tim berencana kembali ke permukaan melalui lubang vertical tempat awal dimana tim masuk dengan menggunakan Single Rope Technique (SRT), setelah dirundingkan tim pun memilih untuk keluar gua melewati extrance lainnya karena keterbatasan waktu, sedangkan untuk menuju kesana tim harus melewati lorong kecil dibeberapa bagian tim harus melewatinya secara merayap. Lima belas menit kemudiaan, di sebelah atas terlihat secercah sinar matahari yang berasal dari dari entrance yang kami cari, tim kemudiaan keluar melewati lorong ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar